Hasil resume tentang teori Negara dan Doktrin Kedaulatan.Teori Negara adalah cabang ilmu yang sangat luas, yang pada awalnya melibatkan analisis tentang semua faktor yang memengaruhi kehidupan politik dan sosial manusia. Namun, dalam kerangka filsafat modern, teori Negara sering dibatasi untuk membahas isu-isu tertentu yang membedakannya dari ilmu politik lainnya.
Tujuan utama teori Negara adalah untuk menggali beberapa topik penting, yakni: (1) sifat negara, (2) fungsi-fungsi negara, (3) hak atau kekuasaan sah yang dimiliki negara, dan (4) prinsip-prinsip yang harus mengatur organisasi politik. Di samping itu, teori Negara juga mencakup subjek politik, yang mengacu pada kebijakan atau pemerintahan negara.
Dalam pembahasan teori Negara, para ahli hukum, terutama di Jerman, membedakan teori ini dalam ranah Jus Publicum atau hukum publik, serta memasukkan aspek politik yang lebih luas.
Teori ini, tidak hanya dilihat dari sudut pandang hukum tetapi juga hubungan antara hukum dan kebijakan politik yang lebih besar. Seiring berjalannya waktu, teori-teori ini berkembang, dan penting untuk memahami asal-usul teori tertentu dengan menggali sejarahnya, karena teori-teori tersebut seringkali terpengaruh oleh bias sosial dan politik dari penulisnya.
Dalam perkembangan teori politik modern, ada kecenderungan yang jelas bahwa banyak teori politik saat ini didasarkan pada prasangka atau bias. Bias ini dapat menghalangi penyelidikan rasional, karena kecenderungan manusia untuk berpihak pada kelompok tertentu dan menyetujui dogma yang sudah melekat dalam pikiran mereka. Oleh karena itu, teori-teori politik seringkali lebih bersifat polemik dan bertujuan untuk mendukung pandangan tertentu, bukan untuk menyelidiki kebenaran.
Kekeliruan yang muncul dari teori-teori politik ini, meskipun sering kali diterima tanpa pertanyaan, sering kali menutupi analisis objektif tentang politik. Sebagai contoh, doktrin kedaulatan yang banyak diterima di dunia modern dianggap sebagai kebenaran yang tidak bisa dipertanyakan. Padahal, doktrin ini pada kenyataannya memiliki banyak bentuk dan interpretasi yang berbeda-beda. Di bawah ini, doktrin kedaulatan dibahas dalam beberapa bentuk yang lebih spesifik.
Doktrin Kedaulatan Absolut.
Salah satu teori yang paling dominan adalah doktrin kedaulatan mutlak, yang mengklaim bahwa kedaulatan berada pada satu entitas yang memiliki kekuasaan tak terbatas. Awalnya, doktrin ini hanya menunjuk pada kekuasaan raja atau penguasa tunggal. Kedaulatan raja ini sering kali dikaitkan dengan konsep hak ilahi, yang menganggap bahwa kekuasaan raja berasal dari Tuhan dan tidak bisa diganggu gugat. Namun, seiring perkembangan sejarah, pandangan ini semakin dipertanyakan dan berkurang relevansinya.
Pergeseran ke Kedaulatan Pemerintah dan Negara.
Seiring berjalannya waktu, terutama dengan berkembangnya sistem pemerintahan konstitusional, doktrin kedaulatan beralih dari satu individu (raja) kepada pemerintah atau organisasi politik yang lebih besar. Kedaulatan dalam hal ini tidak lagi berfokus pada kekuasaan satu orang, tetapi pada badan politik atau pemerintahan yang berwenang untuk membuat keputusan. Walaupun secara teoritis ini lebih fleksibel, pandangan ini masih menggunakan istilah kedaulatan dalam cara yang tidak sepenuhnya konsisten dengan pengertian asli dari doktrin tersebut.
Doktrin Kedaulatan Negara atau Rakyat.
Selanjutnya, berkembanglah doktrin kedaulatan yang lebih mengarah pada negara atau rakyat sebagai sumber kekuasaan. Doktrin ini memisahkan antara negara dan pemerintah, di mana kedaulatan diyakini berada di tangan negara sebagai entitas yang lebih besar. Namun, ini menimbulkan kebingungan karena dalam praktiknya, kedaulatan rakyat seringkali hanya merujuk kepada mereka yang berhak memilih, yaitu para pemilih, yang sebenarnya adalah bagian dari struktur pemerintahan.
Kedaulatan dalam Perspektif Hukum.
Dalam bentuk yang lebih modern, doktrin kedaulatan mulai berkembang menjadi konsep yang lebih abstrak, seperti kedaulatan hukum, kedaulatan hak, atau kedaulatan keadilan. Dalam hal ini, kedaulatan lebih merujuk pada prinsip hukum atau moral yang mendasari sistem pemerintahan dan keputusan politik. Ini mengarah pada pandangan bahwa keadilan dan hak asasi manusia adalah sumber kekuasaan yang sah dalam pemerintahan.
Ambiguitas Istilah ‘Kekuasaan’ dalam Doktrin Kedaulatan.
Satu hal penting yang perlu dicatat adalah ambiguitas dalam penggunaan istilah “kekuasaan”. Istilah ini sering kali digunakan untuk merujuk baik kepada kekuasaan yang sebenarnya (seperti kekuatan fisik atau militer), maupun kepada kekuasaan sah (hak atau otoritas). Ini menciptakan kebingungan dalam menganalisis doktrin kedaulatan, karena setiap pengertian “kekuasaan” bisa memiliki makna yang berbeda-beda.
Lebih jauh lagi, istilah “tidak terbatas” yang sering kali digunakan dalam doktrin kedaulatan, juga memiliki banyak makna yang tidak jelas. Apakah “tidak terbatas” berarti kekuasaan tanpa batasan hukum, ataukah berarti kekuasaan yang tidak terbatas oleh otoritas lain? Oleh karena itu, doktrin kedaulatan yang sering diterima dalam bentuk ini mengandung banyak asumsi yang tidak jelas dan mengarah pada pemahaman yang salah tentang bagaimana kekuasaan politik harus dijalankan.
Kesimpulan dan Kritik terhadap Doktrin Kedaulatan.
Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa doktrin kedaulatan, meskipun tampak sederhana, sebenarnya memiliki banyak interpretasi dan kontradiksi yang tidak selalu mudah dipahami. Seringkali, doktrin-doktrin ini bertentangan dengan kenyataan politik yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu, penting untuk terus melakukan analisis kritis terhadap doktrin-doktrin ini, agar dapat lebih memahami bagaimana teori-teori politik berkembang dan bagaimana kekuasaan politik sebenarnya seharusnya dijalankan dalam masyarakat modern.
Dalam konteks ini, penulis mengkritik bahwa teori-teori politik modern sering kali tidak lebih dari ekspresi sentimen atau prasangka yang berlaku pada saat itu, yang dipengaruhi oleh bias politik dan sosial. Mereka tidak sepenuhnya berbicara tentang kebenaran atau realitas, tetapi lebih kepada bagaimana kekuasaan dipahami dan diterima oleh masyarakat pada waktu tertentu. Oleh karena itu, untuk mencapai pemahaman yang lebih objektif dan ilmiah tentang politik, kita perlu terus memeriksa dan meragukan asumsi dasar dari teori-teori politik yang ada.(*)
Penulis: Muh.Ridho
Nim:24200046
Prodi: Ilmu Hukum
Mata Kuliah (Ilmu Negara) Universitas Nahdatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Jakarta
Gmail: muhrido117@gmail.com