Oleh: Muhammad Yusuf, SH., MH.
Opini – Sejarah bangsa ini, tidak hanya dibangun di pusat kekuasaan, tapi juga ditegakkan oleh darah dan air mata di tanah-tanah yang jauh dari sorotan Jakarta. Di tanah Mandar, Sulawesi Barat, berdiri nama yang hingga kini hidup dalam ingatan kolektif rakyat: Ponggawa Malolo. Ia bukan hanya pejuang, tetapi simbol keberanian yang memimpin rakyat Mandar melawan kolonialisme Belanda dari benteng perlawanan legendaris: Benteng Kassa di Mamuju Kalukku.
Tak banyak mengenal sosok pejuang yang gagah berani ini, Tentara Nasional Indonesia, mengabadikannya sebagai Nama Rumah Sakit TNI di Jl Jendral Achmad Yani Kota Mamuju Provinsi Sulawesi Barat
Perjuangan Ponggawa Malolo tidak berdiri sendiri. Ia dikenal sebagai tokoh utama dalam perlawanan sengit yang berlangsung selama berhari-hari, dibantu oleh sahabat seperjuangannya, Atjo Ammana Andang. Bersama, mereka memimpin pasukan rakyat mempertahankan tanah leluhur dari serbuan militer Belanda yang kala itu mencoba menundukkan wilayah Mandar.
Penting dicatat, pertempuran heroik ini bukan sekadar catatan lokal. Koran Belanda tertanggal 20 Agustus 1906, yang ditulis dalam bahasa Belanda, melaporkan secara eksplisit bahwa pasukan kolonial mengalami kekalahan berat di Mandar. Dalam laporan tersebut, disebutkan tewasnya seorang jenderal dan sejumlah perwira tinggi Belanda, serta puluhan tentara yang gugur atau luka parah. Ini bukan sekadar insiden militer—ini adalah bukti bahwa Benteng Kassa menjadi medan tempur yang sangat sulit ditaklukkan.
Kekuatan tempur Belanda yang canggih tidak mampu menembus kekuatan tekad para pejuang Mandar yang dipimpin Ponggawa Malolo. Ini adalah bentuk nyata perlawanan rakyat, yang dibangun di atas semangat keberanian, kecintaan terhadap tanah air, dan keteguhan dalam mempertahankan kehormatan Mandar.
Ponggawa Malolo dikenal karena kegigihannya memimpin perlawanan rakyat lokal dari berbagai Dati (kerajaan kecil tradisional) di Mandar. Ia tidak hanya seorang panglima perang, tetapi juga seorang pemersatu rakyat. Ia menghimpun kekuatan dari berbagai kalangan, termasuk petani, nelayan, dan bangsawan lokal yang tidak sepakat dengan politik adu domba Belanda.
Ponggawa Malolo menggunakan strategi gerilya dalam melawan Belanda, memanfaatkan medan pegunungan dan hutan di wilayah Mandar, untuk menyerang secara tiba-tiba dan kemudian menghilang. Strategi ini sangat menyulitkan Belanda yang terbiasa dengan perang terbuka.
Beberapa catatan lisan menyebutkan bahwa dalam beberapa kali perundingan damai yang ditawarkan Belanda, Ponggawa Malolo tetap bersikeras untuk tidak tunduk. Ia menganggap kemerdekaan sebagai hak rakyat yang tidak bisa ditukar dengan jabatan ataupun kekayaan.
Pertempuran sejatinya bukti kecintaan dan harga diri seorang ponggawa sampai titik darah penghabisan. Dalam pertempuran maha dahsyat itu, Ponggawa Malolo gugur di medan laga, menjadikan dirinya syuhada tanah air yang gugur dengan kepala tegak demi kemerdekaan bangsanya.
Kini, lebih dari seabad kemudian, bangsa ini memiliki kewajiban moral dan sejarah untuk mengangkat Ponggawa Malolo sebagai Pahlawan Nasional. Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 20 Tahun 2009, Ponggawa Malolo memenuhi seluruh kriteria: memiliki jasa luar biasa dalam perjuangan kemerdekaan, tidak pernah menyerah kepada penjajah, serta gugur dalam pertempuran membela tanah air.
Pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Ponggawa Malolo bukan sekadar penghargaan formalitas. Ini adalah pengakuan terhadap peran Sulawesi Barat dalam perjuangan nasional, sekaligus pelurusan narasi sejarah agar lebih adil bagi seluruh wilayah Nusantara. Penghargaan ini akan menjadi warisan berharga bagi generasi muda Mandar, bahwa tanah ini pernah melahirkan pejuang yang berdiri sejajar dengan tokoh-tokoh besar bangsa.
Saatnya nama Ponggawa Malolo diabadikan sebagai Pahlawan Nasional. Karena sejarah, tidak boleh melupakan keberanian yang lahir dari pelosok, dari ladang-ladang pertempuran yang sunyi, namun menentukan, sebagai pahlawan dari Tanah Mandar Mamuju Provinsi Sulbar.(*)
Penulis adalah Praktisi Hukum dan Pemerhati Sejarah Sulawesi Barat.(Keturunan keluarga Ponggawa Malolo).