Dikala Polman Tak Jago Lagi

Oleh : Hamzah Durisa

Mua’ mattuda’o bata’, tuoi tu’u dai’ roppong, tapi mua’ mattuda’o roppong, mustahil tuo bata’

Bacaan Lainnya

(Kalau menanam jagung, maka rumput pun akan ikut tumbuh, namun kalau rumput yang ditanam, maka mustahil akan tumbuh jagung)

Opini – Polewali Mandar (Polman) adalah salah satu bagian dari Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar). Sejarah panjangnya yang merupakan sebagai salah satu daerah yang cukup maju di Sulbar mencatatkannya sebagai pusat perekonomian, budaya, dan sosial. Namun, di beberapa tahun terakhir, kabupaten ini seolah kehilangan arah dan momentum untuk terus berkembang. Beberapa hal yang menjadi sorotan atas kemunduran ini adalah defisit anggaran yang kerap terjadi, maraknya dugaan praktik korupsi dana desa oleh oknum kepala desa, serta perilaku hedonis pejabat yang semakin mencuat. Selain itu, persoalan lingkungan hidup yang tak kunjung terselesaikan turut memperburuk keadaan. Hal ini mengarah pada pertanyaan besar: mengapa Polman, yang dulunya dikenal sebagai kabupaten yang “jago”, kini berada dalam kondisi yang memprihatinkan?

Defisit Anggaran yang Menggerogoti

Salah satu masalah utama yang menggerogoti Polman adalah defisit anggaran yang terjadi berulang kali dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai daerah otonomi, Polman seharusnya memiliki anggaran yang memadai untuk menjalankan berbagai program pembangunan. Namun, defisit anggaran yang terjadi menunjukkan betapa buruknya pengelolaan keuangan daerah. Keterbatasan anggaran menyebabkan banyak proyek infrastruktur yang terbengkalai, pelayanan publik yang tidak optimal, dan terbatasnya ruang untuk pengembangan ekonomi.

Defisit anggaran sering kali disebabkan oleh pengelolaan yang tidak transparan, ketidakefisienan dalam alokasi dana, serta pemborosan anggaran yang tak terkendali. Hal ini semakin diperburuk dengan adanya korupsi yang merajalela di kalangan pejabat dan aparat pemerintah. Bukan hanya menjadi masalah jangka pendek, defisit anggaran ini juga berisiko memperburuk daya saing Polman di kancah regional dan nasional. Masyarakat yang sebelumnya berharap pada kesejahteraan yang lebih baik kini harus menerima kenyataan bahwa pemerintah daerah mereka tak mampu mengelola sumber daya keuangan dengan baik.

Dugaan Korupsi Dana Desa

Polman juga menghadapi masalah besar lainnya: korupsi dana desa. Program Dana Desa yang seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa malah sering kali disalahgunakan oleh oknum pejabat. Korupsi dana desa ini tidak hanya merugikan negara, tetapi juga masyarakat desa yang seharusnya mendapatkan manfaat langsung dari dana tersebut. Pembangunan infrastruktur, pemberdayaan masyarakat, dan berbagai program lainnya menjadi terhambat karena dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat justru dikorupsi oleh mereka yang berkuasa.

Penyalahgunaan dana desa bukan hanya mencerminkan kurangnya integritas pejabat, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap alokasi dana publik. Kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana desa membuat masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintahan. Hal ini semakin memperburuk hubungan antara rakyat dan pejabat publik, yang semakin tampak sebagai kekuatan yang terpisah.

Hedonisme dan defisit Moralitas

Selain masalah keuangan dan korupsi, perilaku hedonis di kalangan pejabat juga menjadi sorotan utama dalam kemunduran Polman. Pejabat yang lebih mementingkan gaya hidup mewah dan konsumtif daripada bekerja untuk kesejahteraan rakyat menjadi simbol utama dari ketidakpedulian terhadap nasib masyarakat. Gaya hidup hedonis ini tidak hanya merusak citra pemerintah, tetapi juga menciptakan jarak yang semakin besar antara pejabat dengan rakyat.

Kehidupan yang digambarkan melalui kegiatan plesiran, misalnya studi tiru yang beberapa waktu lalu marak diperbincangkan. Kemudian, di penghujung tahun 2024 kemarin misalnya, dengan label ‘maju, sehat, cerdas , berintegritas’, yang katanya sebagai Panggung Hiburan Pasar Rakyat dimana menampilkan pertunjukkan aksi disk jokey perempuan yang dalam perspektif budaya ketimuran kita, sangat bertentangan dengan nilai-nilai luhur di daerah ini. Terlebih, di tengah keadaan daerah yang mengalami defisit anggaran dan hutang yang membengkak. Sungguh sangat tidak bisa diterima oleh akal sehat.

Lingkungan Hidup yang Tak Terselesaikan

Masalah lingkungan hidup di Polman juga tak kunjung mendapatkan perhatian yang serius. kerusakan alam serta polusi yang merusak ekosistem lokal semakin memperburuk kualitas hidup warga. Sumber daya alam yang seharusnya menjadi potensi ekonomi malah menjadi beban bagi generasi mendatang jika tidak dikelola dengan bijak. Pemerintah daerah tampak kurang berinisiatif untuk mengatasi masalah lingkungan ini, meski dampaknya sangat besar terhadap kehidupan masyarakat dan keberlanjutan pembangunan. Sebagai contoh kasus yang kini dialami oleh Mampie, sebuah kampong di Wonomulyo yang mengalami ancaman abrasi, yang lebih parahnya lagi mengancam hilangnya perkampungan di daerah tersebut.

Penyelesaian masalah lingkungan hidup membutuhkan kebijakan yang berkelanjutan dan penegakan hukum yang tegas. Sayangnya, ketidakseriusan pemerintah dalam menangani persoalan ini hanya memperburuk kerusakan yang terjadi. Ke depan, Polman harus memiliki komitmen untuk melindungi dan mengelola lingkungan dengan bijaksana, serta menyusun program yang mampu mengembalikan keselarasan antara pembangunan ekonomi dan pelestarian lingkungan.

Baik Untuk Polman

Dengan terpilihnya H. Samsul Mahmud dan Hj. Andi Nursami Masdar, tentu menjadi harapan solusi bagi semua persoalan yang ada. Untuk mengatasi kemunduran ini, Polman memerlukan langkah-langkah reformasi yang menyeluruh. Pengelolaan anggaran daerah harus diperbaiki dengan mengutamakan transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan terhadap penggunaan dana publik, baik itu dana desa maupun anggaran daerah, perlu ditingkatkan agar tidak ada lagi penyalahgunaan yang merugikan rakyat.

Selain itu, pejabat dan aparat pemerintahan di Polman harus dituntut untuk lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat dan meninggalkan perilaku hedonis-konsumtif yang hanya memperburuk citra mereka. Pemimpin yang bijak dan berorientasi pada kepentingan rakyatlah yang dibutuhkan untuk membawa perubahan di Polman. Gaya hidup mewah yang tidak mencerminkan keprihatinan terhadap kesulitan rakyat harus digantikan dengan tindakan nyata dalam memperbaiki keadaan.

Penyelesaian masalah lingkungan juga harus menjadi prioritas utama. Upaya konservasi dan perlindungan lingkungan harus dimulai dari kebijakan yang jelas, serta implementasi yang tegas untuk menghentikan perusakan alam. Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan adalah kunci untuk masa depan Polman yang lebih baik.

“Dikala Polman Tak Jago Lagi”, sebuah tema yang mencerminkan kenyataan pahit yang sedang dihadapi kabupaten ini. Defisit anggaran, korupsi dana desa, perilaku hedonis pejabat, dan kerusakan lingkungan hidup adalah masalah yang saling berkelindan, yang jika tidak segera diatasi, akan terus menghambat perkembangan Polman. Namun, dengan adanya komitmen kuat dari pemerintah daerah, khususnya ASSAMI yang akan dilantik tidak lama lagi, maka asa itu masih selalu ada. Tentu, dukungan dari masyarakat, dan perubahan dalam pola pikir para pejabat harus menjadi perhatian khusus, karena pembangunan tanpa kolaborasi itu akan terasa sulit. Semuanya membutuhkan peran dan tanggung jawab masing-masing.

Akhirnya, dengan mengutip salah satu petuah leluhur di atas, bahwasanya perbuatan baik itu tidak pernah lepas dari tanggapan negatif, terlebih lagi kegiatan yang terang-terangan buruk, maka sudah dipastikan akan memunculkan tanggapan yang buruk. Begitulah pemerintah, berbuat baik saja belum tentu tidak mendapat kritikan tajam, apalagi perbuatan yang terang-terangan keliru. Maka, harus jeli melihat kebijakan yang diterapkan, jangan sampai justru akan menjadi boomerang bagi keberlanjutan pemerintahan.(*)

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *