Oleh : Amiruddin S.Pd.I
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) merupakan salah satu agenda penting di negara tercinta ini, pada tanggal 9 Desember 2020 mendatang akan dihelat serentak di 270 wilayah kabupaten/kota dan provinsi.
Pilkada serentak 2020 kali ini sangat berbeda dibanding sebelumnya, karena akan berlangsung tengah Pandemi Covid-19. Hal ini pun menjadi pro kontra dikalangan politisi maupun akademisi, apakah penting untuk tetap melaksanakan Pilkada atau ditunda?
Namun, dengan berbagai pertimbangan dan kemaslahatan, proses pesta demokrasi untuk memperebutkan kepala daerah ini, tetap berlangsung sebagai bagian dari penyelamatan demokrasi.
Pelaksanaan Pilkada serentak tahun ini, tantangan terus membayangi dan bisa berdampak pada kegagalan dalam pelaksanaannya. Salah satu diantaranya adalah politik SARA dan identitas. Dilansir satu media Nasional CNN (Selasa,08/09/2020) “Presiden menegaskan bahwa jangan menggunakan narasi politik identitas hingga politik SARA pada pelaksaan Pilkada serentak tahun 2020”.
Politik identitas, di mata Presiden adalah sesuatu yang sangat menakutkan dan akan menjadi ancaman di kemudian hari terhadap kondisi bangsa, dan dibeberapa media juga pernah memberitakan, di kompas saat berpidato di hadapan parlemen Australia, di Canberra, Senin (20/2/2020) Presiden juga menegaskan, “Terus kikis politik identitas di negara kita dan di berbagai belahan dunia. Baik itu atas dasar agama, etnisitas, identitas,” kata Jokowi dalam pidatonya sebagaimana disampaikan Staf Khusus Presiden Fadjroel Rachman. Jokowi menegaskan, politik identitas merupakan ancaman terhadap kualitas demokrasi, kemajemukan, dan toleransi.
Apa itu Politik Identitas?
Membahas politik identitas, maka harus dimulai dengan apa itu politik atau defenisi politik. Kata politik sendiri berasal dari bahasa yunani ,Politeia, yang mengacu pada pengertian bahwa para individu dalam sebuah komunitas dalam batas geografis berkehendak untuk mengelola suatu wilayahnya, dengan membuat hukum-hukum, kebijakan-kebijakan, serta lembaga politik. Kemudian kata identitas diambil dari bahasa inggris identity memiliki arti ciri-ciri atau keadaan khas. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, identitas merupakan ciri-ciri suatu keadaan khusus seseorang atau jati diri.
Dari dua pengertian diatas politik identitas bisa disimpulkan, bahwa politik identitas adalah politik yang menekankan pada perbedaan-perbedaan yang didasarkan pada asumsi fisik tubuh, kepercayaan,dan bahasa yang menjadi ciri atau tanda khas seseorang.
Politik identitas, menurut Lukmantoro, adalah politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota suatu kelompok, karena kesamaan identitas atau karesteristik, baik berbasis pada ras,etnisitas, gender atau keagamaan. Politik identitas, merupakan rumusan lain dari politik perbedaan. Politik identitas dalam operasionalnya, selalu melakukan upaya-upaya penyaluran aspirasi, untuk mempengaruhi kebijakan, penguasaan atas distribusi nilai-nilai yang dipandang berharga hingga tuntunan fundamental, yakni penentuan nasib sendiri atas dasar primordialan.
Dari pengertian para ahli di atas, mengenai pengertian politik identitas dapat disimpulkan secara umum bahwa politik identitas adalah politik yang didasari pada kesamaan masyarakat, yang terpinggirkan atau yang mencoba menghimpun kekuatan untuk meniadakan kelompok-kelompok tertentu. (https://dosensosiologi.com)
Politik Identitas dan Ancaman Terhadap Demokrasi.
Berkembangnya wacana atau narasi politik identitas merupakan momok politik yang menakutkan (political spectre) hal ini patut diberikan perhatian khusus, karena politik identitas akan dapat memberikan dampak yang serius, terhadap kehidupan berbangsa khususnya sebelum dan pasca pesta demokrasi Pilkada serentak 9 Desember 2020.
Di beberapa wilayah atau daerah yang akan melaksanakan pemilihan kapala daerah, sudah memberikan sinyal akan terjadinya politik identitas, dalam pelaksanaan pesta demokrasi yang akan dilaksanakan pada awal Desember 2020, seperti di Papua dan beberapa wilayah lainnya yang ada di Indonesia.
Sinyal politik identitas di Pilkada 2020, semakin kuat terjadi dibeberapa tempat di Indonesia. Berkembangnya politik identitas ini merupakan dampak dari realitas politik identitas di tahun 2019, yang menjadi etalase eksploitasi politik identitas. Polarisasi berbasis irasionalitas politik identitas, yang diekspresikan dalam bentuk kampanye jahat, berita dan informasi bohong (hoax),fitnah, dan politisasi SARA yang diperkirakan akan meningkat dalam momentum Pilkada tahun 2020 ini. Data menunjukan ada 132 juta pengguna facebook di Indonesia (Nomor 4 terbesar didunia), 50 juta pengguna twitter, 45 juta pengguna instagram, dan media sosial lainnya, menjadi media yang kadang digunakan untuk mengembangkan narasi politik identitas di Indonesia. Politik identitas merupakan isu yang paling praktis dan murah, bagi politisi dalam memobilisasi massa dan suara.
Politik Identitas, sangat mampu merusak tatanan demokrasi yang mulai terbangun baik, sebaiknya melakukan pendidikan politik yang sehat dengan mengesampingkan hal-hal, yang bersifat dikrimanasi satu sama lain. Politik identitas, dapat menggeser cara pandang terhadap hakikat pemilihan kepemimpinan yang idealnya memilih pemimpin yang amanah, jujur dan mampu mensejahterakan rakyat.
Pendidikan Pemilih Cerdas Tanpa Politik Identitas.
Pemilihan kepala daerah serentak Tanggal 9 Desember 2020, diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang mampu mensejahterakan rakyat dan mengemban amanah. Tentunya semua komponen bangsa, harus membangun komitmen bersama untuk membangun kualitas demokrasi tanpa politik identitas. Direktur Eksekutif Perludem, Titi Angraini, memberikan solusi praktis dalam meminimalisir politik identitas dalam Pilkada 2020. Pertama Partai Politik (Parpol), perlu memfasilitasi rakyat dengan mengusung kader-kader yang berkualitas dan berintegritas. Kedua menciptakan masyarakat yang melek digital. Melakukan secara maksimal pengguna digital, yang bijak harus dilakukan secara maksimal. (*)