Polman – editorial9 – Pengurus Cabang HMI Kabupaten Polewali Mandar (PC HMI Polman), meminta Presiden RI, Joko Widodo, untuk segera melakukan evaluasi terhadap Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut) dan apabila perlu, diganti dengan yang lebih baik.
Hal itu disampaikan oleh Ketua PC.HMI Kabupaten Polman, Muhammad Ridwan, menyusul keluarnya Surat Edaran (SE) Menteri Agama, Nomor : 05/2022 tentang pedoman penggunaan pengeras suara di Masjid dan Musolah, yang saat ini menuai pro kontra di masyarakat.
Ridwan menilai, Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), semenjak menjabat sebagai Menag RI, telah mengeluarkan banyak pernyataan dan kebijakan yang tidak equal dengan ummat islam.
“Bisa kita lihat kemudian, ketika perayaan hari besar ummat Islam diperketat diperketat Prokes, namun ketika umat agama lain tidak ada hal tersebut, yang paling terakhir perayaan Imlek, yang dilakukan di Mall mewah tanpa memberlakukan prokes, namun Menag diam seribu bahasa,” ucap Ridwan, Jumat, 25/02/22.
Kata Ridwan, pihaknya secara kelembagaan tidak bermaksud untuk memperbandingkan perayaan hari-hari besar umat beragama, tapi sikap Menag yang terkesan tidak aqual.
“Belum lagi, kami menilai pernyataan Menag tidak mencerminkan sosok yang bijaksana dan berbudi luhur, malahan pernyataannya sangat kontroversial dan berpotensi dapat membuat gaduh bangsa sesama umat beragama,” katanya.
HMI secara kelembagaan melihat, peryataan yang dilontarkan oleh Menag tentang suara adzan dengan mengambil analogi suara anjing menggonggong itu tidak tepat secara kebahasaan maupun syarat analogi.
“Masih banyak analogi lain, yang dapat diambil untuk semakin mempermudah mengerti maksud dari Menag ini,” beber Ridwan.
Secara kelembagaan, HMI juga menuntut agar Menag membuat klarifikasi sendiri dan meminta maaf secara terbuka pada seluruh umat beragama, terkhusus islam yang ada di Indonesia, karna telah mencoba menyakiti umat dengan pernyataannya tendensius dan penuh apologetik.
“Bahkan dengan kebijakan tersebut, dapat memicu konflik dan maslah baru diantara umat beragama,” imbuhnya.
Selain itu ia mengungkapkan, bahwa
pernyataan Menag tersebut, berpotensi dapat dipidana, kecuali perbandingan tersebut disampaikan ke diri sendiri atau internal terbatas, maka tidak akan menimbulkan masalah.
“Tapi, ketika diucapkan di depan publik, maka berpotensi masuk dalam rumusan Pasal 156a KUHP, yakni terkait adanya dugaan penistaan, pelecehan suatu keyakinan ajaran agama,” ungkapnya.
Pihaknya sangat mengerti keinginan Menang, sehingga mengeluarkan SE tentang aturan penggunaan volume suara adzan malalu pengeras suara, yakni agar tercipta harmonisasi ketertiban dan kedamaian khususnya antar umat beragama.
“Namun seurgen apakah kehidupan beragama kita hingga keputusan ini di ambil ? Serta apakah fakta beragama di Indonesia tidak cukup mampu menjelaskan kemajemukan kita, maka wajar jika kita mengatakan menteri agama ini, tidak membuka mata melihat fakta sosiologis, bahwa kita sangatlah plural dan selesai untuk masalah teknis semacam ini. Masyarakat Indonesia, telah lama dapat berdampingan dengan suaran adzan dan lonceng gereja misalkan,” bebernya.
Lebih lanjut Ridwan menuturkan, bahwa SE Nomor 5 2022 tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran maladministrasi, lantaran tidak adanya batasan mengenai zona wilayah dan kategori masjid maupun musolah yang dimaksud.
“Padahal tidak semua masjid maupun musolah itu dibawah naungan Kemenag, banyak juga yang berdiri sendri atau hasil swadaya masyarakat,” tutupnya.(Mp)