Oleh : Amiruddin
Mencerdasakan kehidupan berbangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia, adalah cita – cita luhur yang menjadi tujuan hidup berbangsa dan bernegara, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Di tengah arus globalisasi yang ditandai dengan era informasi, pemuda adalah kunci utama untuk memegang peran penting dari semua sector, baik itu ekonomi, politik dan sosial politik.
Sejarah panjang peran pemuda, telah memberikan banyak pelajaran, bahwa modal besar yang dimiliki pemuda dari satu fase ke fase yang lain dalam sejarah perjalanan bangsa kita, adalah ide dan gagasannya sebagai urat nadi pendorong revolusi. Setiap perubahan besar di negeri ini, tidak terlepas dari eksistensi pemuda.
Dalam konteks kebangsaan kita, dinamika bangsa kita diperhadapkan pada realitas terjadinya degradasi politik, dimana dalam pandangan sebahagian anak bangsa menjadikan politik, untuk merebut kekuasaan atau mendapatkan kedudukan. Semua ini, terjadi oleh karena pragmatisme yang melanda sebahagian para elit politik kita, tidak terkecuali para politisi muda.
Ibrahim, dosen Fisip universitas Bangka Belitung memberikan penjelasan bahwa pragmatis berporos pada Dua hal, yaitu realitas dan manfaat. Pragmatis juga diartikan sebagai salah satu aliran berpikir, yang meletakkan sesuatu pada asas kemanfaatan.
Dalam konteks politik, perilaku ini sering orientasi pemikirannya cenderung melihat realitas lebih baik dan kemudian manusia, itu tunduk kepada apa yang disebut dengan realitas. Basis politiknya selalu akan berorientasi pada apa yang bisa memberi keuntungan, sehingga dalam perjalanan mereka yang memiliki cara pikir yang pragmatis, akan selalu berubah sesuai dengan kepentingannya. Seseorang yang pragmatis diakibatkan oleh lemahnya, bahkan tidak adanya ideologi politik, Heywood (1997), memaknai ideologi sebagai basis-basis bertindak ideologi politik. Sebagai seorang politisi, harus memiliki ideologi yang jelas sebagai basis pikir, sehingga orientasi politiknya tidak hanya merebut kekuasaan.
Pragmatisme politik akan berdampak buruk terhadap perilaku politisi, termasuk politisi mudah oleh karena akan mempengaruhi basis pikir dan cara pandang sehingga akan mempengaruhi perilaku dalam bertindak. Sehingga pola pikirnya yang instan dalam berpolitik. Untuk membangun kualitas tatanan demokrasi yang baik, maka penting membangun komitmen bersama untuk tetap mengedepankan ideologi dalam berpolitik, pemuda para pendahulu bangsa telah memperlihatkan dengan gagasan-gagasan yang mereka miliki, telah meninggalkan peristiwa yang monumental yang patut kita terus jaga semangatnya, yang didasari oleh semangat berkorban, untuk bangsa dan negara tercinta.
Pilkada,Pragmatisme dan Kebangkitan Kepemipinan Otokratis
Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan secara serentak pada tanggal 09 Desember 2020 mendatang, pesta demokrasi 5 tahunan di tingkat kabupaten ini, kini mulai bahan perbincangan diberbagai media, Setidaknya ada 224 kota/kabupaten dan 37 kota tersebar di 9 Provinsi.
Pemilihan kapala daerah secara langsung, adalah produk reformasi yang terus harus dijaga dan ditingkatkan kualitasnya, setelah perjalanan bangsa dari masa otororitarian menuju era yang lebih demokratis. Dalam satu Laporan Akhir Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum Dan Ham RI 2009.
Dalam transisi demokrasi menuju tatanan demokrasi yang lebih baik, setidaknya ada beberapa alasan yang melatar belakangi. Pertama, ketika rezim otoritarian berkuasa secara sistemik membangun sisitem politik dan dipihak lain, membangun kekuasaan yang amat terpusat. Kedua, rezim otoritarian cenderung melakukan tekanan kekerasan, untuk melumpuhkan kelompok oposisi dan melakukan hegemoni dalam mempertahankan kekuasaan. Ketiga, rezim otoritarian memelihara kekuasaannya dengan menciptakan hubungan, yang tak setara dan amat hierarkhis diantara negara (state) dan masyarakat (civil society). Keempat, rezim transisi selalu dihadapkan pada dua posisi waktu, yang sering bertolak belakang dalam gagasan dasarnya, masa depan yang lebih baik dan masa lalu yang penuh keburukan. Sementara, terdapat kebutuhan untuk melakukan konsolidasi kelembagaan, yang diperlukan bagi hadirnya sebuah pengelolalan kekuasaan yang demokratis, terdapat desakan untuk menemukan cara, tentang bagaimana warisan rezim otoritarian itu hendak diselesaikan.
Untuk mewujudkan kehidupan berbangsa yang lebih demokratis, maka Pemilu atau Pilkada adalah merupakan model pengelolaan kekuasaan yang demokratis, menentukan pemimpin secara demokratis, melalui Pemilihan Umum atau Pilkada telah menjadi salah satu model negara-negara demokratis.
Harapan kita, pemilihan kepala daerah diharapkan mampu melahirkan pemimpin yang berkualitas dan sangat mengedepankan nilai-niai demokrasi, oleh karena salah satu dampak yang kita khawatirkan dalam pesta demokrasi adalah Pragmatisme politik. Perisiwa Pemilu atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang bertujuan mewujudkan pemerintahan yang mendapat legitimasi luas dari masyarakat, yang tentunya dilaksanakan secara adil, jujur langsung dan rahasia, maka terwujudnya Pilkada yang berkualitas.
Degradasi politik dalam bentuk pragmatisme, adalah tantangan serius dalam mewujudkan cita-cita bangsa Indonesia dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat, jauhnya perilaku para insan politisi dari tatanan nilai kebangsaan kita dan nilai agama, dengan cenderung hanya berorientasi politik pada perebutan kekuasaan. Pragmatisme akan memberikan dampak yang sangat buruk dalam pembangunan demokrasi, karena pragmatisme akan menjauhkan kita dalam melahirkan pemimpin, yang tidak demokratis dan justru membawa kita pada kebangkitan kekuasaan atau kepimpinan otokratis.
Dalam kolom opini media Kumparan, menguraikan salah satu dampak perilaku pragmatisme politik, yaitu munculnya kepemimpinan yang jauh dari demokratis bahkan perilaku pragmatisme akan bermuara pada gaya “Kepemimpinan Otokratis” dalam bentuk kepemimpinan otokratis lebih menggunakan pendekatan kekuasaan, dalam mencapai keputusan , sehingga kekuasaan lah yang lebih banyak diuntungkan dibalik kebijakan-kebijakannya.
“Kepemimpinan otokratis,pada dasarnya merupakan gaya kepimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan, dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam satu organisasi,”
Robbins dan Coulter (2002), memberikan argumentasi bahwa gaya kepemiminan otokratis mendeskripsikan pemimpinan yang cenderung memusatkan kekuasaan pada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan sepihak dan meminimalisasi partisi publik.
Kepemimpinan otokratis dan pragmatisme dalam pandangan para ahli, sesungguhnya sangat memiliki korelasi dengan sifat pragmatisme, karena selalu merasa apa yang mereka lakukan adalah suatu kebenaran sehingga apapun mereka lakukan selalu bertumpuh pada diri sendirinya. Dan sangat diperparah lagi, kalau kekuasaan yang iya dapatkan dengan menggunakan pendekatan cara-cara pragmatis.
Pemuda, sebagai pelanjut estapet kepemimpinan di negeri tercinta ini, dengan melihat perpolitikan nasional maupun di tingkat yang paling bawah, di tengah transisi demokrasi dimana perubahan demi perubahan regulasi, di tengah kran demokrasi dan berdampak pada cost politik, yang semakin tinggi dan mendorong pelaku politik dan terkadang menghalalkan cara demi hajatan politik.
Pemuda, harus mengambil peran penting untuk menjadi aktor pencerdasan politik bagi masyarakat, sehingga politik, tidak hanya memberi kesan negatif dan menjadikan politik sebagai sarana, untuk mewujudkan harapan melalui partisi aktif seluruh rakyat, dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.(*)