Oleh : Abdul Hakim Madda
(Kader Muda Nahdatul Ulama Sulbar)
Hingga detik ini, wacana penerapan lockdown masih kontroversial. ada yang setuju. ada yang menolak. Yang setuju melirik keberhasilan Tiongkok. Yang menolak melihat kegagalan Italia. Wajar kalau hingga detik ini kebijakan itu masih tarik ulur. Kemarin gubernur Jakarta mengatakan akan segera bersurat ke presiden, tentang rencana pemberlakuan karantina wilayah alias lockdown.
Sepertinya pak gub, mulai kebingungan menghadapi kelakuan warganya. Gimana tidak pusing kalau banyak yang bandel. Dibilang jangan ke mana-mana, malah nongkrong di café. Disuruh tinggal di rumah. Eh, malah berbondong-bondong pulang kampung.
Padahal Jakarta, adalah episentrum penularan Covid-19. Dengan jumlah penderita paling banyak se-nusantara. Jakarta ditengarai sebagai daerah pengimpor wabah ini ke luar daerah setelah warganya banyak berinteraksi dengan warga dari daerah lain.
Sebenarnya kebijakan pemerintah pusat seperti tetap di rumah, menjaga jarak dan menghindari kerumunan diatas kertas sudah tepat. Tapi ada yang menjadi persoalan saat kebijakan diterapkan. Di lapangan terjadi pergerakan massa yang tak bisa dikontrol.
Coba diingat beberapa waktu yang lalu, begitu kebijakan Sosial Distancing dan Work From Home (WFH) diberlakukan, terjadi mobilisasi warga besar – besaran keluar Jakarta. Hasilnya warga di daerah-daerah penyangga ibukota seperti bogor, Tangerang, Bekasi dan Depok mulai terjangkiti wabah Covid-19.
Di luar daerah, misalnya di Sukabumi Jawa Barat, cerita teman saya ketika mobilisasi itu berdatangan terdapat penambahan jumlah Orang Dalam Pemantauan (ODP) sebanyak 1800-an orang. Itu baru di Sukabumi belum daerah-daerah lain di Pulau Jawa atau di luar Jawa.
Ini tentu menjadi sulit karena lawan yang kita hadapi adalah sejenis makhluk halus. Ia tak bisa di hadapi dengan konfrontasi fisik. Ia ganas dan merajalela kemana-mana. Hebatnya hingga kini belum ada penangkalnya.
Jadi untuk mengantisipasi jumlah lonjakan penderitan di daerah lain sekaligus di wilayah sendiri dengan kenyataan bahwa lawan kita bukan makhluk sembarangan, maka Jakarta harus di kunci. Dan lockdown adalah langkah yang tepat.
Dengan lockdown pergerakan warga Jakarta dikurangi. Akses keluar dan masuk kota dibatasi. Cuma kendaraan logistik yang bisa berlalu lalang. Itu pun dengan catatam harus di sterilkan terlibih dahulu.
Apa tidak ada alternatif?
Mungkin isolasi atau karantina terbatas adalah salah satu alternatif. Namun rasanya langkah itu kurang memadai. Memang ini tidak gampang dan lockdown adalah solusi alternatif yang ngeri-ngeri sedap. Tapi jika mulai saat ini diberlakukan untuk satu wilayah saja. Imbasnya tak akan sefatal jika harus di lakukan secara nasional.
Saya mau mengibaratkan Jakarta sebagai kakinya Indonesia. Maka kaki ini harus di kunci. Agar tidak bisa kemana-mana, dan sementara tidak menambah sebaran virus di daerah lain.
Apa pilihan ini aman?
Oh tentu tidak!
Pilihan ini juga mengandung resiko. Jakarta bisa lumpuh. Tetapi lebih baik sementara melumpuhkan satu bagian, agar bagian lain bisa tetap sehat. Daripada lumpuh seluruhnya.
Terus caranya gimana?
Wah maaf kalau itu bukan urusan saya. Itu tugas pemerintah pusat dan para pakar untuk memikiriannya. Secara teknis mereka yang tahu prosedurnya. Misalnya bagaimana penanganan dan suplai makanan khususnya bagi warga berpenghasilan rendah dan tanpa tabungan. Mereka akan sangat menderita jika kebijakan lockdown diterapkan, tanpa perhitungan yang matang sama sekali.
Tetapi keputusan tetap ada pada para policy maker. Pada pucuk pimpinan tertinggi. Saya cuma menyampaikan pendapat dari sudut pandang yang berbeda.
Termasuk menyampaikan kekuatiran saya pada sebuah fakta bahwa kasus positif Covid-19 yang pertama di daerah saya Sulawesi Barat adalah import dari Bogor. Salah satu daerah yang mendapat imbas rembesan dari wilayah zona merah Jakarta.
Jadi tunggu apalagi.. lockdown aja pak.(*)